PR AGENCY JAKARTA – Pernah dengar tentang hubungan antara berita utama, postingan sosial, dan Public Relations (PR)? Ketiga hal ini sebenarnya punya keterkaitan yang sangat menarik.
Beberapa waktu lalu, ada cuplikan percakapan luar biasa antara Presiden Guyana Irfaan Ali dan Stephen Sackur dari BBC World News yang diposting oleh pakar komunikasi internasional, Bob Pickard. Sackur mewawancarai Ali tentang cadangan minyak besar di Guyana dan dampaknya terhadap negara serta lingkungan. Percakapan lengkapnya sangat layak untuk dilihat, tapi yang menjadi viral adalah potongan dua menit yang menunjukkan bagaimana mengendalikan wawancara media yang bersifat permusuhan.
Kenapa video ini menarik? Karena konteks geopolitiknya. Guyana, negara yang dulunya mengimpor minyak dan banyak penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, kini menemukan cadangan besar minyak di lepas pantainya. Cadangan ini bisa mengubah Guyana menjadi salah satu negara terkaya di dunia, dengan potensi minyak dan gas senilai USD150 miliar. Namun, ada juga dampak negatif berupa emisi karbon yang besar. Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari sisi PR?
Teknik PR yang Digunakan
Wartawan BBC Sackur menempatkan Presiden Ali dalam posisi sulit dengan menyebutkan bahwa Guyana mungkin kehilangan potensi pendapatan sebesar USD55 miliar karena memberikan terlalu banyak uang kepada perusahaan minyak internasional. Ada juga masalah perbatasan dengan Venezuela yang membuat situasi semakin rumit. Tapi, Presiden Ali berhasil mengendalikan situasi dengan menggunakan teknik PR yang efektif. Ini pelajaran penting bagi para profesional PR dan komunikasi, terutama yang berspesialisasi dalam pelatihan media.
1. Pimpin dengan Momen Terkuat
Di era media sosial, perhatian orang sangat singkat. Cuplikan suara dan klip pendek lebih mudah mendapat perhatian. Presiden Ali tahu ini dan dia memanfaatkannya dengan baik.
2. Tantang Premis Negatif
Saat Sackur menanyakan dampak ekstraksi minyak terhadap perubahan iklim, Ali menolaknya. Dia mengangkat tangan sebagai isyarat “berhenti” dan meninggikan suaranya. Meskipun mereka berbicara satu sama lain selama beberapa detik, Ali tetap teguh pada pendiriannya. Dia tidak menerima premis Sackur dan mulai membalikkan diskusi dengan menyampaikan alasan-alasannya.
3. Bersikeras Menyampaikan Pendapat Anda
Menyela pewawancara bisa jadi sulit, tetapi Presiden Ali berhasil karena dia tidak mau diganggu. Dia siap dengan fakta, statistik, dan emosi yang terkontrol. Suaranya tegas, tetapi tidak berteriak, memberikan bobot dan martabat pada argumennya.
4. Tolak Hipotesis
Ketika ditanya tentang dampak potensial ekstraksi minyak di Guyana, Ali fokus pada kondisi saat ini. Dia membela rencana negaranya dengan fakta-fakta tentang keanekaragaman hayati, deforestasi yang rendah, dan pengelolaan sumber daya yang bertanggung jawab.
5. Lakukan Serangan Balik
Bagian paling kuat dari wawancara adalah saat Ali menuduh Sackur dan negara-negara Barat bersikap munafik. Ali menggunakan strategi DARVO (Deny, Attack, Reverse Victim and Offender) dengan mengungkap sejarah kolonial negaranya dan menyerang balik BBC serta negara-negara maju. Dia berkata, “Apakah hal ini memberi Anda hak untuk menguliahi kami tentang perubahan iklim? Saya akan menguliahi Anda tentang perubahan iklim.”
Catatan
Kata-katanya memang kuat, tapi visualnya lebih kuat lagi. Ini adalah kisah seorang pemimpin muda dari negara berkembang yang menolak didikte oleh wakil dari negara maju. Hal ini memberikan PR yang sangat positif bagi Presiden Ali dan mendukung editorial yang mendorong para pemimpin Karibia untuk melawan sikap Barat yang merendahkan.
Presiden Guyana Ali menghadapi banyak pertanyaan sulit dan tantangan nyata. Tapi, cara dia menangani wawancara ini menunjukkan betapa pentingnya teknik PR yang efektif.***