Di era media sosial, kesalahan sekecil apa pun bisa berubah menjadi bencana besar bagi sebuah merek. Burger King membuktikannya pada Hari Perempuan Internasional 2021, ketika niat baik mereka berubah menjadi blunder besar yang memicu kemarahan banyak orang. Sebuah cuitan sederhana berujung pada badai kritik, menunjukkan betapa pentingnya berhati-hati dalam menyampaikan pesan di era digital.
Pada Hari Perempuan Internasional 2021, Burger King Inggris mengunggah cuitan berbunyi, “Perempuan seharusnya bekerja di dapur.” Kedengarannya seperti lelucon yang tidak peka, kan? Meskipun maksud di baliknya adalah mengangkat isu bahwa hanya 20% koki di industri restoran adalah perempuan, banyak orang langsung bereaksi negatif tanpa membaca penjelasan lebih lanjut. Cuitan lanjutan yang menjelaskan program beasiswa untuk perempuan di industri kuliner pun tidak cukup meredam kemarahan publik.
Dalam hitungan jam, cuitan tersebut viral dan di-retweet lebih dari 200.000 kali, kebanyakan dengan komentar negatif. Banyak yang merasa, di tengah pandemi ketika banyak perempuan kehilangan pekerjaan, lelucon ini sangat tidak peka dan tidak pantas.
Niat Baik yang Terkubur oleh Kemarahan
Burger King sebenarnya punya niat baik di balik kampanye PR ini. Mereka ingin menunjukkan bahwa perempuan kurang terwakili di industri kuliner dan berkomitmen untuk memperbaiki ketimpangan ini melalui program beasiswa. Namun, niat baik tersebut tenggelam dalam gelombang kemarahan. Publik hanya melihat cuitan pertama yang terkesan seksis, dan tak banyak yang menyempatkan diri untuk membaca penjelasan berikutnya.
Burger King, yang dikenal cerdas dalam penggunaan media sosial, kali ini salah langkah. Dalam pernyataan kepada PRWeek, juru bicara mereka menjelaskan bahwa kampanye ini bertujuan untuk mematahkan stereotip lama tentang perempuan di dapur. Namun, bagi banyak orang, penjelasan ini datang terlambat. Kerusakan sudah terjadi, dan kepercayaan publik mulai terkikis.
Salah Langkah dalam Komunikasi Krisis
Jika dilihat dari perspektif teori komunikasi krisis, Burger King gagal dalam beberapa tahap penting. Dalam Image Repair Theory yang dikemukakan oleh William Benoit, merek yang mengalami krisis reputasi harus segera mengambil langkah untuk memperbaiki citra mereka, baik dengan mengakui kesalahan, memberikan klarifikasi, atau mencari cara untuk mengalihkan perhatian dari isu tersebut. Sayangnya, Burger King terlalu lama menunda klarifikasi yang lebih jelas dan lugas. Alhasil, mereka kehilangan momentum untuk mengendalikan narasi sebelum amarah publik meluas.
Strategi mereka yang provokatif juga sejalan dengan Attribution Theory, di mana publik cenderung memberi reaksi negatif ketika mereka menganggap kesalahan terjadi karena unsur kesengajaan, bukan kebetulan. Dalam kasus ini, banyak orang melihat cuitan awal Burger King sebagai bentuk seksisme yang disengaja, bukan sebagai upaya memulai percakapan penting. Ini memperparah persepsi negatif terhadap merek, karena publik merasa niat awal Burger King adalah menghina, bukan memberdayakan.
Umpan Klik yang Berisiko
Banyak pakar komunikasi mengkritik pendekatan Burger King. Alicia Solanki, dari Ketchum, menyebut kampanye ini sebagai “umpan klik kosong.” Burger King mungkin berhasil menarik perhatian publik, tetapi dengan harga yang sangat mahal. Menyebarkan frasa usang yang ofensif hanya memberi ruang bagi pandangan kuno yang seharusnya sudah ditinggalkan. Jessica Pardoe, seorang ahli PR, juga menambahkan bahwa ada banyak cara lain yang bisa digunakan Burger King untuk menyampaikan pesannya tanpa harus menggunakan kalimat yang menyinggung. “Tidak semua publisitas adalah publisitas yang baik,” tegasnya.
Pelajaran dari Blunder Ini
Kasus ini mengajarkan kita bahwa di dunia PR, terutama di media sosial, kampanye harus dirancang dengan sangat hati-hati, terutama ketika berhubungan dengan isu sensitif. Niat baik saja tidak cukup jika penyampaian pesan dapat dengan mudah disalahartikan. Burger King mungkin ingin mengangkat isu penting tentang kesetaraan gender, tetapi cara penyampaiannya yang salah membuat mereka terjebak dalam badai kritik.
Dalam komunikasi krisis, menguasai narasi adalah kunci. Seperti yang diajarkan oleh Situational Crisis Communication Theory (SCCT), tanggapan merek terhadap krisis harus cepat, jelas, dan tepat sasaran. Dalam kasus Burger King, komunikasi yang lambat dan kurang tepat mengakibatkan pesan mereka hilang dalam kekacauan respons negatif publik.
Blunder PR ini menjadi pelajaran penting bagi merek-merek lain: berhati-hatilah dengan pesan yang Anda sampaikan, terutama di platform publik seperti media sosial. Lelucon atau frasa provokatif mungkin bisa menarik perhatian, tetapi jika salah langkah, dampaknya bisa sangat merusak. Memilih kata yang tepat dan mempertimbangkan setiap kemungkinan reaksi publik adalah kunci untuk menjaga citra positif merek di tengah lautan opini di media sosial.
Mungkin ini dimulai dengan niat yang baik, tetapi akhirnya menjadi salah satu bencana PR terbesar di tahun 2021 yang seharusnya bisa dihindari.***