Musibah memang tak ada jadwalnya. Kadang, datang beruntun tanpa ampun.
Itulah yang terjadi pada Boeing. Dari insiden teknis hingga bencana komunikasi, mereka menghadapi krisis yang terus menumpuk. Yang lebih buruk? Cara mereka menanganinya justru memperparah keadaan.
Awal Mula: Insiden 737 MAX
Semua bermula pada 5 Januari 2024. Pesawat Boeing 737 MAX milik Alaska Airlines mengalami kejadian yang mengejutkan—pintu di badan pesawat tiba-tiba terlepas di udara!
Akibatnya, pesawat mengalami dekompresi mendadak dan harus melakukan pendaratan darurat di Portland. Beruntung, tidak ada korban jiwa, tetapi beberapa penumpang mengalami luka-luka.
Hanya berselang satu bulan, insiden lain terjadi. Seorang pilot United Airlines melaporkan kendali penerbangan macet saat mendarat. Beberapa hari kemudian, roda pesawat United Airlines lainnya copot saat lepas landas.
Serangkaian kejadian ini membuat regulator penerbangan semakin ketat mengawasi Boeing. Kepercayaan publik mulai runtuh.
Kesalahan Fatal: Respons yang Terlambat
Dalam teori komunikasi krisis, ada tiga pendekatan utama dalam menghadapi bencana:
- Denial (Menyangkal) – Perusahaan menolak tanggung jawab dan menyalahkan faktor eksternal.
- Diminishment (Memperkecil Dampak) – Mengakui masalah, tetapi mencoba meredam kepanikan dengan menyebutkan faktor mitigasi.
- Rebuild (Membangun Kembali Kepercayaan) – Bertanggung jawab sepenuhnya, menawarkan solusi konkret, dan menunjukkan perubahan nyata.
Sayangnya, Boeing gagal menerapkan strategi komunikasi yang tepat.
Alih-alih segera memberikan klarifikasi dan solusi, mereka justru lambat merespons. Padahal, dalam komunikasi krisis, waktu adalah segalanya. Respon yang terlalu lambat bisa membuat publik kehilangan kepercayaan.
Akibatnya? Reputasi mereka makin terpuruk. CEO Boeing, Dave Calhoun, akhirnya mengundurkan diri karena tidak mampu menangani situasi ini dengan baik.
Saham Anjlok, Boeing Malah Sibuk ke Luar Angkasa
Di tengah krisis kepercayaan yang belum usai, Boeing justru melakukan langkah yang mengejutkan.
Alih-alih fokus memperbaiki masalah yang ada, mereka malah sibuk meluncurkan misi luar angkasa!
Pada Juni 2024, Boeing mengirim dua astronot NASA, Barry Wilmore dan Sunita Williams, ke Stasiun Luar Angkasa Internasional dengan pesawat Starliner.
Namun, misi ini malah menambah daftar panjang masalah mereka. Misi yang seharusnya hanya berlangsung delapan hari berubah menjadi berbulan-bulan karena Boeing tidak bisa memulangkan para astronotnya kembali ke Bumi.
Akibat dari serangkaian kesalahan ini, saham Boeing anjlok hampir 30% dalam setahun. Investor semakin skeptis, dan kepercayaan pelanggan terus merosot.
Minta Bantuan ke Pesaing: Pukulan Telak bagi Reputasi
Saat menghadapi masalah di luar angkasa, Boeing dan NASA akhirnya menyerah. Mereka harus meminta bantuan kepada pesaing terbesarnya, SpaceX, untuk membawa pulang Barry dan Suni.
Dari perspektif PR dan komunikasi krisis, ini adalah titik terendah bagi Boeing. Meminta bantuan dari pesaing utama seperti SpaceX adalah pengakuan publik bahwa sistem mereka telah gagal.
Seharusnya, Boeing belajar dari teori Image Repair Theory yang dikembangkan oleh William Benoit, yang menyatakan bahwa ketika reputasi suatu perusahaan rusak, mereka harus:
- Mengakui Kesalahan – Transparan dalam komunikasi dan tidak menyembunyikan fakta.
- Menawarkan Solusi – Tidak cukup hanya meminta maaf; mereka harus memperbaiki masalah dengan tindakan nyata.
- Membangun Kembali Kepercayaan – Memberikan jaminan bahwa kejadian serupa tidak akan terulang.
Boeing gagal dalam ketiga aspek ini. Alih-alih transparan dan responsif, mereka berusaha menutupi masalah. Akibatnya, kepercayaan publik semakin terkikis.
Kesimpulan: Apa yang Bisa Dipelajari?
Krisis PR bisa terjadi pada perusahaan mana pun. Namun, cara perusahaan menanganinya adalah faktor penentu apakah mereka bisa bangkit atau semakin terpuruk.
Boeing menjadi contoh bagaimana kesalahan dalam komunikasi krisis dapat memperburuk keadaan. Ketika masalah tidak ditangani dengan cepat dan transparan, reputasi yang telah dibangun selama puluhan tahun bisa runtuh dalam hitungan bulan.
Bagaimana menurutmu? Jika perusahaanmu mengalami krisis serupa, apakah kamu akan meminta bantuan dari pesaing atau mencari solusi sendiri?