Bayangkan Ini: Kamu remaja di era 2000-an. Merek Abercrombie & Fitch jadi incaran banyak anak muda. Pakaian mereka adalah simbol status sosial—siapa yang memakainya dianggap keren. Bahkan tas belanja brand ini sering dijadikan dekorasi kamar. Tapi di balik semua itu, ada rasa kurang nyaman yang muncul: “Aku nggak pernah bisa secantik atau seramping model-model mereka.”
Lalu, datanglah momen yang bikin heboh. Wawancara lama CEO-nya, Mike Jeffries, kembali viral. Di sebuah wawancara tahun 2006, dia terang-terangan bilang bahwa Abercrombie cuma buat “anak-anak keren dan langsing.” Ukuran besar? Nggak ada. Bahkan dia mengklaim nggak mau pembeli “biasa-biasa saja” terlihat memakai produk mereka.
Hasilnya?
Skandal besar. Orang tua ngamuk, remaja kecewa, dan media sosial dibanjiri protes. Banyak yang memboikot, artikel kritis bermunculan, bahkan ada yang bilang pernyataan Jeffries memicu bullying dan rasa tidak percaya diri.
Apa yang Salah?
Jeffries lupa satu hal penting: bisnis bukan cuma soal jualan ke target pasar, tapi juga soal menjaga rasa hormat ke semua orang. Pernyataannya yang eksklusif malah jadi bumerang, membuat banyak orang merasa diasingkan. Lebih buruk lagi, dia nggak langsung minta maaf. Ketika akhirnya dia bicara, permintaan maafnya setengah hati—sudah terlambat, kerusakan sudah terjadi.
Pelajaran yang Bisa Diambil
Ini peringatan keras buat siapa saja yang berkecimpung di dunia PR: Jangan pernah bikin komentar yang bisa menyakiti orang lain. Pesan merek harus inklusif, nggak boleh bikin segelintir orang merasa lebih baik daripada yang lain. Kalau sudah kebablasan, akui kesalahan, minta maaf dengan tulus, dan segera perbaiki.
Kisah ini membuktikan bahwa publisitas buruk bukan selalu publisitas yang baik. Bisnis yang sukses dibangun dari penerimaan, bukan pengasingan. Jangan sampai reputasi hancur cuma karena lidah yang terlalu tajam.***