Dalam dunia Public Relations (PR), membuat pernyataan publik sering kali disertai dengan risiko. Artikel terbaru di New York Magazine berjudul Just Stop Making Official Statements About The News karya Jonathan Chait mengemukakan pandangan bahwa organisasi harus “berhenti mencoba untuk menyelesaikan keyakinan moral kita dan sebaliknya menetapkan aturan yang memungkinkan orang hidup berdampingan secara damai dengan perbedaan pendapat mereka.”
Chait menyoroti pernyataan publik yang dikeluarkan oleh pebisnis, universitas, dan selebriti terkait serangan Israel ke Palestina yang memicu reaksi keras. Artikel ini sangat relevan bagi profesional komunikasi korporat dan pekerja di bidang PR. Agensi PR sering kali menyarankan klien untuk mengambil sikap terhadap isu sosial, budaya, atau politik, atau merespons peristiwa besar. Banyak organisasi merasa bahwa karyawan, pelanggan, dan pemangku kepentingan mereka mengharapkan pernyataan dalam situasi krisis.
Namun, apakah semuanya telah berjalan terlalu jauh? Bahkan pernyataan yang bermaksud baik pun dapat memicu kontroversi atau dianggap tidak memadai. Haruskah tim PR profesional dan komunikasi perusahaan menyarankan untuk tetap diam ketika ada berita sensitif?
Kejelasan Moral yang Jarang
Kurangnya kejelasan moral dalam berbagai isu membuat pernyataan publik dari para pemimpin menjadi penting. Organisasi harus mempertimbangkan dengan hati-hati kapan dan bagaimana menyuarakan isu-isu kompleks. Respons yang dangkal terhadap peristiwa terkini bisa berbahaya, tetapi terlalu umum juga bisa berisiko.
Argumen untuk mengambil sikap sudah sering didengar. Di saat kepercayaan publik terhadap institusi merosot, posisi sosial yang kuat bisa menjadi pembeda. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelanggan ingin merek mengambil posisi dalam isu-isu yang penting bagi mereka, terutama demografi muda berusia 24-40 tahun yang cenderung lebih peduli pada nilai-nilai yang dipegang oleh merek. Namun, penelitian lain menunjukkan hasil yang bertentangan.
Dengan bukti yang beragam, perusahaan yang melihat ekspresi nilai-nilai mereka sebagai keuntungan strategis harus mencari cara untuk memaksimalkan potensi keuntungan sambil meminimalkan risiko.
Apa yang Harus Dilakukan Organisasi dan Tim PR?
Pertama, mereka perlu mendekati isu-isu sensitif dengan pemahaman mendalam tentang sejarah dan konteksnya, apresiasi terhadap pemangku kepentingan mereka, dan komitmen terhadap dialog yang terinformasi setelah pernyataan atau posisi apa pun dikomunikasikan. Ini adalah “aturan jalan” dalam PR.
Prioritaskan Relevansi
Aspek krusial dalam pengambilan keputusan mengenai pernyataan publik adalah relevansi. Organisasi menyadari bahwa pemangku kepentingan mereka memiliki beragam nilai, harapan, dan ikatan geografis. Sebuah bisnis yang memiliki hubungan dengan Israel tentu akan menghadapi ekspektasi dari pemangku kepentingan mereka untuk mengatasi peristiwa bencana. Sikap diam bisa dianggap sebagai kurangnya keterlibatan atau pengabaian terhadap kesejahteraan orang-orang yang terkena dampak. Ini tidak berarti bahwa organisasi harus melakukan komunikasi secara spontan. Sebaliknya, mereka harus menilai relevansi isu terhadap misi dan pemangku kepentingan mereka serta membuat pernyataan yang sesuai dengan tanggung jawab mereka.
Kenali Audiens Anda
Ini lebih mudah dilakukan jika Anda adalah merek seperti Patagonia yang memiliki sejarah aktivisme dan basis pelanggan yang terlibat. Namun, sebagian besar bisnis melayani pasar yang lebih luas. Mengetahui kapan harus berbicara membutuhkan riset pasar dan pengambilan keputusan yang matang mengenai pelanggan, karyawan, dan mitra. Pada akhirnya, ini adalah tentang nilai-nilai perusahaan. Sebagai contoh, Dick’s Sporting Goods memutuskan untuk berhenti menjual senjata jenis serbu setelah penembakan di Parkland, Florida, meskipun tahu keputusan ini akan menuai kritik. Dalam jangka panjang, ini tidak merugikan perusahaan dan mungkin membantu bisnisnya.
Manfaatkan Keahlian Anda
Kredibilitas sangat penting. Ketika mantan Presiden Trump menindak imigrasi ke AS, perusahaan teknologi seperti Google dan Apple secara terbuka menentang kebijakan tersebut. Mereka bergantung pada tenaga kerja berkualifikasi tinggi yang termasuk imigran dan menolak kebijakan tersebut. Kepentingan pribadi dan keahlian dalam situasi ini bekerja dengan baik karena hal tersebut melampaui “perasaan.”
Bersiaplah untuk Penolakan
Banyak perusahaan tersandung di sini. Bahkan pernyataan yang “seimbang” bisa menuai kritik. Jika sebuah merek mengungkapkan kemarahan dan kesedihan atas serangan terhadap Israel atau dukungan terhadap warga Palestina yang meninggalkan rumah mereka, mereka harus siap menghadapi reaksi. Terlalu banyak perusahaan yang goyah saat melihat tanda-tanda reaksi negatif dan beberapa tergoda untuk mengubah pernyataan atau sikap mereka. Seringkali lebih baik menanggapi komentar sipil, mengabaikan troll, dan menghadapi badai sosial.
Catatan Akhir
Singkatnya, bagi organisasi yang melihat dirinya sebagai pemimpin kategori dan warga korporasi yang baik, sulit untuk menghindari dialog publik. Bisnis yang cerdas akan mempertimbangkan pilihan mereka, menentukan arah, mengukur suhu karyawan mereka sendiri, dan menyelaraskan pemasaran dan komunikasi dengan nilai-nilai mereka — sebelum mengkomunikasikan apa pun secara eksternal.
Tahun 2024 adalah tahun Pilpres di Indonesia. Dalam situasi di mana berita yang sedang berlangsung berdampak pada wacana dan politik, dunia usaha dapat menunjukkan kepemimpinan dengan bersuara. Sejarah telah menunjukkan bahwa pengaruh perusahaan dapat mendorong perubahan positif. Dunia usaha dan pihak lainnya dapat menghadapi ketidakpastian dan berkontribusi pada wacana publik sambil membangun merek atau posisi perusahaan mereka sendiri.***