Ryanair sudah sering jadi bahan kritik di media, tapi krisis terburuk terjadi pada 2017. Mereka membatalkan sekitar 40 hingga 50 penerbangan akibat kesalahan penjadwalan pilot, yang disebut sebagai “kesalahan manajemen besar.” Michael O’Leary, CEO Ryanair, memang meminta maaf, tapi kemudian menyalahkan serikat pekerja atas kekacauan tersebut. Alih-alih meredakan, komentar tersebut malah memperkeruh suasana.
Ini bukan satu-satunya insiden PR yang buruk dari Ryanair. Pada 2013, CEO O’Leary dituduh seksis karena komentar tidak pantas di Twitter. Baru-baru ini, di 2022, Ryanair kembali jadi sorotan negatif setelah meminta warga Afrika Selatan mengikuti tes dalam bahasa Afrikaans sebelum diizinkan terbang. Tuduhan diskriminasi pun muncul, semakin merusak citra Ryanair di mata publik.
United Airlines dan Insiden Viral yang Mengguncang
United Airlines juga punya kisah PR yang buruk yang tak kalah mengejutkan. Pada 2017, video seorang dokter yang diseret keluar dari pesawat yang overbooked menjadi viral di YouTube dan memicu kemarahan publik. United dianggap tidak menghormati penumpang, dan reputasi mereka pun jatuh.
Sebelum itu, United sudah pernah mendapat kritik karena menolak dua gadis yang mengenakan legging untuk naik pesawat. Namun, insiden dokter yang diseret inilah yang paling membekas di ingatan publik. Bahkan setelah mencapai kesepakatan dengan dokter tersebut, CEO United gagal memberikan permintaan maaf yang meyakinkan, yang berujung pada boikot dari pelanggan setianya.
PR yang buruk seperti ini mengingatkan kita bahwa di industri penerbangan, reputasi adalah segalanya. Satu insiden bisa menyebabkan krisis kepercayaan yang sulit dipulihkan. Ryanair dan United Airlines mengajarkan betapa pentingnya respons cepat, tulus, dan bijak saat masalah muncul.
Ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana strategi PR yang tepat bisa menghindarkan bisnis dari krisis reputasi? Baca artikel lengkapnya di website kami dan temukan tips menjaga citra merek Anda tetap positif di mata publik!***