Skip to main content

Mei 2025, Bali mendadak gelap.

Bukan metafora, tapi fakta. Listrik padam total di sebagian besar wilayah pulau. Bandara sempat terganggu. Hotel-hotel mewah di Nusa Dua beralih ke genset. Sinyal telepon terputus. Wisatawan asing panik, masyarakat lokal cemas, dan yang paling terasa: tidak ada penjelasan yang segera dan utuh dari otoritas.

Suasana yang semestinya jadi pengalaman liburan, berubah menjadi kecemasan kolektif. Di tengah blackout, semua orang menunggu satu hal: kejelasan. Tapi keheningan justru lebih dominan

Gelapnya Komunikasi dalam Krisis Blackout

Blackout memang bukan hal baru. Tapi justru karena itu, publik berharap pemerintah lebih siap—lebih sigap bicara, bukan hanya memperbaiki jaringan.

Sayangnya, peristiwa di Bali mengulang pola lama: komunikasi yang lambat, saling lempar tanggung jawab antara pusat dan daerah, serta minimnya saluran informasi darurat yang bisa diandalkan. Padahal Bali bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah etalase Indonesia di mata dunia. Ketika listrik padam dan suara negara ikut menghilang, bukan hanya cahaya yang redup—citra pun ikut meredup.

Eropa: Beda Tempat, Masalah yang Sama

Beberapa hari sebelum Bali, pemadaman besar melanda Spanyol dan Portugal. Lebih dari 50 juta orang terdampak. Transportasi berhenti. Internet mati. Dan publik bertanya-tanya: kenapa bisa terjadi?

Pemerintah bergerak—tapi tidak cukup cepat. Tidak cukup jelas. Dan yang paling krusial: tidak cukup hadir. Warga terpaksa kembali mendengarkan radio, karena semua kanal digital tak berfungsi. Dalam kekosongan itu, rumor berkembang: dari dugaan sabotase hingga teori konspirasi.

Dalam teori komunikasi krisis seperti Situational Crisis Communication Theory (SCCT), kepercayaan publik sangat dipengaruhi oleh persepsi akan tanggung jawab dan keterlibatan. Bahkan jika pemerintah bukan penyebab utama, diam dan lamban tetap bisa membuat publik merasa ditinggalkan.

Flashback: Blackout Jawa–Bali 2019

Lima tahun lalu, Indonesia sempat mengalami pemadaman besar di Jawa dan Bali. PLN kala itu tergolong sigap. Dalam 30 menit, akun media sosialnya memberi penjelasan. Update rutin terus diberikan. Tapi substansi komunikasinya terlalu teknis: transmisi 500 kV, gangguan sistem Ungaran–Pemalang—istilah yang tidak menjawab pertanyaan warga: “Kenapa bisa mati lampu seraya ini?”

PLN kemudian menggelar konferensi pers bersama Kementerian ESDM—langkah koordinatif yang bagus. Tapi lubang besarnya tetap: tidak ada penjelasan menyeluruh kenapa backup bisa gagal. Dan yang paling krusial: tidak ada narasi lanjutan pasca-krisis. Komunikasi berhenti saat listrik menyala. Padahal, kepercayaan tak serta-merta ikut hidup kembali.

Pelajaran yang Terang Benderang

Krisis bisa datang dari apa saja: kabel putus, sistem down, alam tak bersahabat. Tapi dalam setiap krisis, ada satu hal yang pasti ditunggu: suara yang menenangkan.

Bali, Eropa, Jawa-Bali—semuanya menunjukkan bahwa ketika lampu padam, suara pemerintah tidak boleh ikut hilang. Komunikasi publik harus jadi cahaya pertama yang menyala: cepat, jujur, jelas, dan menyentuh rasa.

Karena jika tidak, masyarakat akan mencari cahaya sendiri—dan sering kali, itu justru berupa asumsi, spekulasi, bahkan kemarahan.

Jika krisis adalah ujian, maka komunikasi adalah jawabannya. Dan jawaban terbaik bukan yang paling teknis, tapi yang paling bisa dimengerti dan dipercayai.

Maka di saat gelap melanda, suara pemerintah seharusnya menjadi terang pertama yang hadir. Anda setuju?

WeCreativez WhatsApp Support
Kami siap menjawab pertanyaanmu. Tanyakan saja.
👋 Hola, Apa yang bisa kami bantu?