Bayangkan Anda adalah CEO sebuah maskapai besar. Suatu hari, sebuah insiden terjadi: seorang penumpang dipaksa turun dari pesawat yang penuh sesak, dan video insiden itu menjadi viral. Anda membela tindakan staf, tapi publik marah karena kenyataannya berbeda. Permintaan maaf yang setengah hati hanya memperburuk situasi, hingga akhirnya Anda harus meminta maaf sepenuhnya. Tapi reputasi maskapai Anda sudah terlanjur hancur.
Berbeda dengan sebuah jaringan kopi global yang menghadapi tuduhan diskriminasi rasial. CEO-nya segera meminta maaf, bertemu dengan korban, dan meluncurkan program pelatihan staf. Hasilnya, reputasi mereka tetap terjaga.
Saat krisis datang, bagaimana perusahaan berkomunikasi sangat penting. Kesalahan bisa merusak reputasi yang dibangun bertahun-tahun. Media sosial bisa memperburuk situasi dengan cepat.
Tidak ada formula pasti untuk menangani krisis, tapi kesiapsiagaan adalah kunci. Lakukan audit kerentanan, siapkan rencana komunikasi krisis, dan latih semua karyawan. Kepala daerah dan juru bicara senior harus siap menghadapi media.
Dengan persiapan yang matang, kerusakan akibat krisis bisa diminimalisir. Seperti kata Norman Schwarzkopf, “Semakin banyak Anda berkeringat dalam perdamaian, semakin sedikit Anda berdarah dalam perang.”
Pernah menghadapi krisis di tempat kerja? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar!***